Seperti film
yang diputar dalam gerakan-gerakan lambat, begitulah saya melihat diri ini
tujuh belas tahun lalu.
2 April 1988,
saya duduk di kelas II SMA, hampir naik kelas III.
Siapa saya?
Remaja yang mencari jati diri. Di kelas saya selalu ranking. Saya aktif
di teater, pramuka, paskibra dan mengelola majalah dinding. Pergi ke sekolah
tiga hari mengenakan rok dan tiga hari lainnya mengenakan celana panjang
abu-abu. Saya sering diminta mewakili sekolah dalam berbagai lomba pidato,
lomba baca puisi dan kontes debat. Berani, tak bisa diam, cuek, sebagaimana
remaja pada umumnya. Di luar sekolah saya sempat ikut karate dan paduan suara,
meski tak begitu sukses.
Bagaimana
pandangan saya terhadap Islam? Sekadar agama yang baik. Tentu bangga (Hai, saya
seorang muslimah!). Tapi anehnya saya tak pernah sholat, kecuali saat sedih. Saya
pun tak bisa membaca Al Quran. Bisakah Anda bayangkan dalam usia 18 tahun saya belum juga bisa membedakan huruf
ba dan nun?
Panjang kalau
saya ceritakan apa yang terjadi saat itu. Intinya saya menghadiri pengajian dan
membaca terjemahan Al Quran. Sepintas tak ada yang istimewa. Tapi menjadi
menyentuh ketika Anda tahu, itulah kali pertama saya mengaji dan untuk
pertamakalinya dalam hidup saya membaca Al Quran terjemahan! Pada usia 18
tahun!
Pulang dari
pengajian tersebut, hari itu juga saya bertekad langsung mengenakan jilbab.
“Lo gila ya, Vy.
Lebih revolusioner dari gue! Lo pikirin dong mateng-mateng. Solat aja jarang,
ngaji nggak bisa, kenal Islam di jalan, trus sekarang lo mau pakai jilbab? Ha
ha ha apa kata dunia?” kata Heidy, sahabat saya sang Ketua Osis.
Saya tak peduli.
Masih menitikkan airmata mengingat kajian senja itu.
“Modal kita kan rambut, Vy.
Nah kalau ntar pakai jilbab, muka kita jadi aneh. Tembem! Belum lagi ntar susah
dapat kerjaan, susah dapat cowok. Gila aja lo!” sambungnya lagi. “Ya gue juga mau
pakai jilbab. Tapi ntar kalau gue udah tualah. Allah kan Maha Pengertian. Yang penting
kita jilbabin dulu nih, hati kita!”
Saya
menatap
Heidy lama. “Emang Gue pikirin? Maha Pengertian? Gue juga tahu. Nah
kita pengertian nggak ama peraturan Dia? Memang siapa yang majikan siapa yang hamba sih? Kalau gue keburu mati
gimana?"
Heidy nyengir.
Terdiam sesaat. “Ya terserah lo deh!”
Dalam perjalanan
pulang saya teringat tentang sikap saya selama ini pada para jilbaber di
sekolah. Ya Allah, betapa teganya saya! Mereka bahkan sering menyingkir dari
jalan yang saya lalui, hanya karena khawatir saya menyapa mereka dengan julukan
“nona lemper” atau “nona lontong.”
Begitulah,
pulang saya langsung mandi, mengenakan baju dan rok panjang pemberian seorang
teman di pengajian. Saya pergi ke rumah Nuraida, teman sekolah berjilbab yang
pernah saya panggil “nona lemper” juga. Dia ternganga membuka pintu rumahnya,
lalu mengajari saya memakai jilbab. Tiba-tiba saya merasa begitu damai.
“Gue jadi jelek
banget ya, Da, pakai jilbab begini?”
Ida memandang
saya dengan mata kaca. “Nggak apa, Vy, jelek di mata manusia. Yang penting cantik di mata Allah…,” katanya seraya memeluk
saya.
Tentu saja
banyak yang berubah setelah saya berjilbab. Saya mencoba untuk menghias diri
dengan ahlak karimah. Menyelaraskan tingkah laku saya dengan pakaian mulia ini,
meski kata orang, kalau jalan masih saja “gagah.” Sementara sekolah gempar,
orang rumah tak percaya.
Perlahan tapi
pasti saya tambah terus wawasan keislaman saya. Tiada hari tanpa mengkaji! Saya
juga mulai mengisi kajian keislaman untuk anak-anak SMP dan teman-teman SMA.
Andis (anak disko), abas (anak basket), ater (anak teater) dan teman-teman saya
yang lain tidak saya lupakan. Saya rangkul mereka, saya ajak untuk bersama
lebih mengenal Islam. Saya tak menyangka. Sungguh hidayah Allah ketika satu
persatu dari mereka akhirnya mulai berjilbab, termasuk Heidy.
Mulanya tak ada
halangan berarti. Tapi kemudian muncul peraturan baru dari Depdikbud: Dilarang
mengenakan jilbab di sekolah!
Saya dan
teman-teman—termasuk Heidy sang Ketua Osis—bangkit menentang. Tapi kami harus
berhadapan dengan kekuasaan pemerintah bernama Depdikbud itu! Kami terancam
dikeluarkan. Setiap ada inspeksi mendadak dari dinas pendidikan, kami bersembunyi
di WC sekolah. Saya bahkan pernah masuk kelas lewat jendela, karena sudah
dihadang di depan gerbang!
Akhirnya kami
boleh pakai jilbab di lingkungan sekolah, tapi kalau di kelas harus dibuka.
Huh, sebuah peraturan yang sungguh aneh bukan? Apa kerugian mereka kalau kami
pakai jilbab di kelas? Kok mereka yang kegerahan? Pikir saya. Dan dasar bandel,
saya dan Heidy tetap tak mau buka jilbab di kelas, meski sekitar 25 teman
lainnya terpaksa melakukan. Sebab bila tidak menurut, kami tidak boleh ikut Ebtanas.
Saya dan Heidy tetap ikut Ebtanas, tapi semua soal hanya kami kerjakan dalam
setengah jam (kebayang nggak sih?). Ya soalnya setelah setengah jam itu ada
inspeksi jilbab ke kelas-kelas! Makanya saya bersyukur, meski semua soal saya
kerjakan dalam setengah jam, saya tetap bisa diterima di UI.
Alhamdulillah saya
bersyukur hingga hari ini saya masih berjilbab.
Mungkin ada di
antara sahabat yang berpikir, mengapa orang seperti Helvy---yang ‘geradakan’
ini---tiba-tiba bisa memutuskan untuk berjilbab?
Jawaban paling
tepat saya rasa adalah: hidayah. Karunia sekaligus misteri Illahi. Saya
mendapatkannya! Dan saya bertekad menggenggamnya terus sampai akhir masa!
Kemarin, setelah
mewawancarai Ayu Utami, sebuah stasiun televisi mewawancarai saya mengenai
hakikat perempuan. Sang reporter juga menanyakan alasan saya mengenakan jilbab.
Nah, di bawah
ini beberapa alasan saya mengenakan jilbab:
Pertama, karena
perintah Allah di dalam Al Quran, surat Al Ahzab; 59 dan Surat An Nuur: 31.
Kedua, karena
jilbab menjadi identitas utama bagi muslimah. Di mana pun kita berada bila kita
mengenakan jilbab, kita dikenali sebagai muslimah (masih merujuk QS Al Ahzab;
59).
Ketiga, dengan mengenakan jilbab, muslimah lebih aman
karena tidak diganggu. Pria lebih tertarik menggoda dan melakukan pelecehan
seksual pada perempuan yang memakai pakaian you
can see (everything?). Biasanya perempuan berjilbab justru sering disapa
dengan salam (Assalaamu’alaikum) atau dengan perkataan: “Mau kemana, Bu Hajii?”
(malah didoakan, amiin).
Keempat, dengan
mengenakan busana muslimah, kita menjadi lebih merdeka dalam arti sebenarnya.
Contoh kasus: saya kasihan sekali kalau melihat rekan perempuan yang memakai
rok mini, naik kendaraan umum. Dalam kendaraan ia akan sangat gelisah dan
berusaha menarik-narik rok mininya terus untuk menutupi pahanya. Kadang
gelagapan menutupi bagian tersebut dengan tas kerjanya. Sangat tidak nyaman.
Dengan mengenakan busana muslimah, kita bisa duduk dengan santai dan leluasa.
Kelima, dengan
berjilbab, kita merdeka dari pandangan orang yang mengukur kita dari fisik semata.
Kita tak lagi diukur dari besar kecilnya betis, pinggang atau bagian tubuh kita
lainnya. Orang akan mengukur kita semata dari kebaikan hati dan kecerdasan
kita.
Keenam, dengan
berjilbab maka kontrol ada di tangan perempuan, bukan pria. Perempuan bebas
mengontrol dan menentukan pria mana yang
boleh atau yang tidak boleh melihatnya.
Ketujuh, bagi
seorang gadis, dengan berjilbab pada dasarnya ia sudah melakukan proses seleksi
terhadap calon suaminya kelak. Bukankah hanya pria baik-baik dan memiliki
wawasan keislaman memadai yang berani melamar gadis berjilbab?
Ke delapan, jilbab
tak pernah menghalangi muslimah untuk maju dalam kebaikan. Sejarah mencatat
banyak perempuan agung di masa nabi SAW dan sesudahnya. Mereka mempunyai
beragam profesi, berbagai kiprah dalam masyarakat dan prestasi yang
tak pernah berhenti, sampai di medan perang sekali pun---tanpa pernah menanggalkan jilbab mereka.
Tentu saja
jilbab bukan menjadi satu-satunya indikator ketakwaan seseorang. Tetapi jilbab menjadi salah satu
realisasi amaliyah dari keimanan kita (iman harus dibuktikan dengan amal
bukan?). Dan pada akhirnya amal tersebut akan menunjukkan sisi ketakwaan kita.
Jadi, mengapa
harus takut dan ragu untuk berjilbab? Berani dong! ;)
SUMBER: http://helvytr.multiply.com/journal/item/71?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem
Tidak ada komentar:
Posting Komentar